Banyuwangi, Responnews.net – Palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi menjadi saksi perbincangan yang berdenyut tajam dalam forum Bedah Buku Selawat Badar. Acara yang digagas oleh Komite Bahasa dan Sastra Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Rabu (26/03/2026) ini menghadirkan Ayung Notonegoro, sang penulis buku, yang membedah sejarah dan dinamika sosial di balik selawat yang menggema hingga ke penjuru dunia Islam.
Lebih dari sekadar kajian akademik, forum ini bertransformasi menjadi arena pertarungan gagasan yang menyingkap lapisan makna Selawat Badar: dari ekspresi spiritual hingga alat perjuangan ideologis di masa lalu.
Dihadapan pengurus DKB, Lentera Sastra Banyuwangi, serta mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewa Alit, menegaskan bahwa Selawat Badar bukan sekadar untaian doa, tetapi warisan agung yang telah mendapatkan Satyalancana dari Presiden Republik Indonesia. Penghargaan ini diberikan kepada penciptanya, KH. Ali Mansur, dan diterima oleh putranya sebagai bukti bahwa seni religi mampu menembus batas-batas kebangsaan.
Namun, di balik sanjungan itu, diskusi justru berbelok ke jalur yang lebih panas.
Ayung Notonegoro membuka tabir sejarah: Selawat Badar lahir di era 1960-an, dari tangan KH. Ali Mansur—ulama kharismatik yang pernah menjabat Ketua PCNU Banyuwangi dan Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Banyuwangi (setara Kepala Kantor Kementerian Agama saat ini). Lebih dari itu, sosoknya juga tercatat sebagai anggota Konstituante, lembaga yang membentuk dasar konstitusi negara.
Dari sinilah muncul pertanyaan menggigit: Apakah Selawat Badar hanya doa atau ada lapisan makna yang lebih dalam?
Syafaat, Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi sekaligus ASN di Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, mengaitkan Selawat Badar dengan dinamika sosial-politik masa itu. Ia menyebutkan bahwa era 1960-an di Banyuwangi diwarnai persaingan panas antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Tanpa kiprah KH. Ali Mansur, mungkin Selawat Badar tidak akan tercipta. Ia bukan sekadar doa, tetapi juga simbol perlawanan dan pemersatu umat di tengah gejolak politik," tegas Syafaat.
Hasan Basri, Ketua DKB, menyoroti aspek sastra dalam Selawat Badar. Ia menyebutkan bahwa struktur selawat ini sarat dengan simbolisme khas puisi Arab klasik. "Ini bukan sekadar rangkaian doa, tetapi juga mahakarya sastra Islam yang memiliki daya magis," katanya.
Iqbal Baraas dari Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB) di Genteng justru mengupas dimensi politiknya lebih tajam. Ia menegaskan bahwa pada masa 1950-1960-an, agama dan politik saling bertaut erat, sehingga wajar jika Selawat Badar juga berfungsi sebagai alat ekspresi dan propaganda.
Salah satu peserta diskusi Samsudin Adlawi, menambahkan bahwa KH. Ali Mansur memiliki penguasaan sastra Arab yang sangat baik. Hal ini berkontribusi pada keindahan dan kedalaman makna Selawat Badar.
Suasana mendadak berubah tegang saat Elvin Hendrata, salah satu peserta, melontarkan pernyataan yang menyentak kesadaran kolektif.
"Saya sepakat bahwa Selawat Badar adalah warisan besar, tetapi kenapa kita membiarkan warisan lain seperti Genjer-genjer terkubur dalam stigma?" ujarnya tajam.
Genjer-genjer, lagu rakyat Banyuwangi yang sempat menjadi alat propaganda politik era Orde Lama, hingga kini masih menyisakan kontroversi. Pernyataan Elvin menggugah pertanyaan mendalam: Apakah Banyuwangi terlalu fokus mengagungkan satu warisan budaya, sementara yang lain terabaikan?
Diskusi semakin panas, tetapi waktu memaksa forum ini berakhir dengan pembacaan Selawat Badar bersama dan buka puasa.
Namun, satu hal yang pasti: bedah buku ini telah membangkitkan kesadaran baru bahwa seni, sastra, dan sejarah tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial dan politik.
Selawat Badar bukan sekadar untaian doa. Ia adalah jejak sejarah, perlawanan, dan kebangkitan peradaban. Namun, di tengah euforia ini, masih ada warisan Banyuwangi lain yang menunggu untuk dikaji ulang dan mendapatkan tempat yang setara dalam panggung sejarah.
Banyuwangi, tanah yang tak hanya melahirkan pujian langit, tetapi juga nyanyian rakyat yang tertimbun waktu.
Tim
0 comments:
Posting Komentar